Bogor, RuangBogor.id – Wakil Ketua DPRD Jawa Barat Achmad Ru’yat menjadi penceramah shalat Idul Adha di Masjid Besar Nurruttaqwa, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Kamis (29/06/2023).
Mengambil tema Menggapai Rahmat, Merebut Maghfirah dengan Ucapan Takbir untuk Karakter Generasi Muda Islam, Ru’yat bermaksud menyampaikan pentingnya membangun iman dan taqwa khususnya generasi muda.
Berikut kutipan wawancara Achmad Ru’yat dimoment Idul Adha 2023 kali ini :
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Hari ini, jutaan manusia dari berbagai suku bangsa,
mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid sebagai wujud rasa syukur
dan kelemahan dihadapan Allah Ta’ala. Itulah saudara- saudara kita, para
jamaah haji, tamu-tamu Allah, setelah bertakbir sambil thawaf
mengelilingi ka’bah, sa’i, lalu wuquf, tersungkur dihadapan kebesaran
Allah Malikul Quddus. Panorama menakjubkan! Mereka serempak
menyatakan kesiapan memenuhi panggilannya:
“Aku memenuhi panggilanMu ya Allah aku memenuhi panggilanMu. Aku
memenuhi panggilanMu tiada sekutu bagiMu aku memenuhi
panggilanMu. Sesungguhnya pujian dan ni’mat adalah milikMu begitu
juga kerajaan, tiada sekutu bagiMu.”
Ribuan tahun yang lalu, ditanah kering tandus, di atas bukit bebatuan
yang ganas, sebuah cita-cita universal umat manusia, peradaban besar nan
mulia, dipancangkan oleh Nabi Ibrahim ’alaihissalam. Cita-cita
kesejahteraan lahir bathin hingga anak cucunya, kehidupan negeri yang
aman, tentram, dan sentosa.
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a: Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki dari buah-buahan
kepada penduduknya yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (AlBaqarah: 126)
Sesungguhnya apa yang dipancangkan begitu kokohnya oleh Nabi
Ibrahim adalah momentum sejarah yang menentukan perjalanan hidup
manusia hingga sekarang ini. Ia menghendaki sebuah masyarakat ideal
yang bersih; ditegakkan atas prinsip keadilan berlandaskan iman dan
takwa. Terciptanya negeri subur makmur, dibawah kepemimpinan
seorang yang sholeh, rakyat beriman yang hidup rukun damai. Negeri
yang diberkahi.
Kita mendapati dalam sejarah kecemerlangan Islam saat dipimpin
oleh hamba sholeh nan adil. Ini diantara kisahnya.
11 abad yang lalu, saat Islam berjaya di Eropa, tepatnya di bumi
Andalusia. Pemimpin saat itu seorang sultan yang ’alim, adil, mujahid.
Dialah Abdurrahman an-Nashir. Cordoba menjadi negeri paling makmur,
rakyatnya sejahtera. Ia begitu dicintai rakyatnya. Ia mengangkat hakim
tertinggi, seorang ulama besar yang disegani, yang tak takut pada
siapapun kecuali pada Rabb nya. Dialah Munzhir bin Sa’id.
Suatu kali terjadi kekeringan yang sangat panjang. Lama tak turun
hujan. Tanah mulai retak. Qadhi Munzhir memerintahkan seluruh
rakyatnya keluar untuk sholat Istisqa. Hari ditentukan, siang itu
masyarakat telah berkumpul di lapangan. Namun sholat belum dimulai
juga, karena ternyata sang khalifah belum hadir. Lalu seseorang
ditugaskan menjemputnya. Namun ia segera kembali, menyampaikan
bahwa ia temui sang Khalifah, Abdurrahman an-Nashr sedang sujud
panjang begitu khusyu’. Mendengar itu, sang Qadhi memerintahkan
masyarakat untuk segera berteduh, sebab hujan akan segera turun.
Benar saja! Tak lama kemudian, bumi Andalusia diguyur hujan,
padahal sholat belum pun ditegakkan. Dan, sang Qadhi, ulama besar itu
mengajarkan kita sebuah kaidah penting. Ia katakan,
“Jika pemimpin di muka bumi tunduk hatinya, pasti Pemilik Langit akan
menurunkan Rahmat-Nya”.
Demikian diceritakan Imam adz-Dzahabi dalam Syi’ar Alam anNubala’. Begitulah dahsyatnya pemimpin adil nan sholeh, ia sangat
mempengaruhi keberkahan sebuah negeri. Maka kita berdoa agar Allah
menghadirkan kepada negeri ini pemimpin yang sholeh dan takut pada
Rabbnya. Kita perlu berusaha mencari dan mendapatkannya, agar
pemimpin- pemimpin kita di berbagai level, orang-orang yang siap
menjadi teladan dan pelopor kebaikan. Pemimpin yang bersih wajahnya,
terpancar cahaya dari bekas wudhu’ yang selalu dijaganya. Pemimpin
yang khusyu’ saat ruku’ dan sujud panjangnya. Pemimpin yang selalu
tersambung ke langit sana, saat menghadapi masalah dan tantangan,
sebagaimana doa Nabi Ibrahim,
“Ya Rabb, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap
melaksanakan salat, ya Rabb kami, perkenankanlah doaku”.
Ibrahim memiliki visi agar ummat bersatu dalam shaf sholat, visi
seorang imam atau pemimpin yang mengayomi, mengasihi, menyayangi,
menyatukan ummat layaknya shaf dalam sholat, menjauhi semangat
membenci dan memecah belah. Ibrahim mewasiatkan agar anak cucunya
siap menerima, menegakkan dan memperjuangkan islam secara utuh.
Ketulusan dalam menerima Islam adalah jaminan untuk kesejahteraan
hidup. Sebaliknya, ketidakpatuhan kepada Islam dapat menjerumuskan
kehidupan kaum muslimin ke dalam lembah yang penuh nista,
menjerumuskan manusia ke dalam krisis multi dimensi yang
berkepanjangan, serta negeri yang jauh dari keberkahan.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Pelajaran hebat lain yang bisa dipetik dari keluarga Ibrahim
’alaihissalam adalah al- istislaam, berserah diri sepenuhnya kepada
Allah. Saat mendapat perintah yang menyesakkan dada, menyembelih
anak tercinta, Ibrahim melaksanakannya dengan ikhlash dan pasrah.
Demikian pula sang anak, Ismail.
“Maka ketika keduanya telah berserah diri kepada Allah dan ia
membaringkan anaknya (Ismail) pada dahinya.” (Ash-Shoffat 103).
Sang bunda Hajar pun memberikan teladan yang tak kalah hebatnya.
Seorang diri ia mengasuh bayinya di padang tandus, panas terik, tak ada
sumber air, tak ada sumber makanan, dan tak ada seorang manusiapun.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits panjang tentang kisah
perjuangannya. Ibrahim ‘alaihissalam membawa istri dan bayinya yang
masih dalam masa menyusui, menempatkan mereka di lembah, dalam
sebuah gubuk dekat baitullah dengan hanya berbekal sekantung kurma
dan sekantung air minum.
Sementara ia pergi melanjutkan langkah, semakin menjauhi istri dan
bayi tercinta, hingga tiba di perbukitan, dihadapkannya wajahnya ke arah
Ka’bah, mengangkat tangan dan berdoa:
“Wahai Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian
keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat
rumah Engkau (Baitullah) yang disucikan. Ya Rabb aku lakukan hal itu
agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim:37).
Kisah ini semakin memilukan. Air susu Hajar habis, karena tidak
ada asupan makanan. Ibu dan Anak kehausan dan kelaparan. Ibu mana
yang tega melihat bayinya menggelepar berguling-guling di pasir dengan
nafas terengah-engah seperti menjelang ajal. Ia tak kuat melihatnya, lalu
pergi keluar, mendaki bukit Shafa. Dari puncak bukit, ia memandang ke
lembah, berharap ada manusia disana. Tapi tak terlihat siapapun. Ia pun
turun kembali. Lalu naik ke bukit Marwa. Turun ke lembah, berlari
kembali ke bukit Shafa. Demikianlah ia berlari-lari tujuh kali, yang
menjadi awal mula disyariatkannya ibadah Sa’i.
Bayi tercinta semakin lemah. Padahal kelak bayi ini akan menjadi
Nabi yang bersama ayahnya Ibrahim membangun Ka’bah. Bayi yang
kelak menjadi nenek moyang bangsa Arab, hingga lahirlah Nabi
Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam. Ia menggelepar di tanah pasir
yang panas. Sementara Hajar sangat lelah, berlari 3 kilometer.
Saat berhenti kelelahan di puncak Marwa, tiba-tiba terdengar suara,
yang ternyata suara Jibril, berdiri di tanah yang kelak menjadi sumur
Zam-Zam. Malaikat itu mengorek pasir dengan tumit atau sayapnya,
sampai akhirnya muncul air. Hajar segera membendung semburan air,
mengisi kantungnya dengan air yang terus memancar keluar tak henti. Ia
pun kembali bisa menyusui bayinya.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil hamdu….
Setelah mengerahkan segenap tenaga untuk mendapatkan air minum
dan makanan. Setelah ia berusaha sesuai batas kemampuan. Akhirnya
Allah memberikan pertolongan- Nya. Sungguh, pertolongan dari langit
akan datang kepada orang yang beriman. Jejak perjuangannya diabadikan
dalam rangkaian ibadah haji dan umrah, yang dilaksanakan oleh milyaran
kaum muslimin. Itulah teladan dari sebuah keluarga sholeh.
Jama’ah rahimakumullah,
Sesungguhnya Allah menitipkan amanah besar di rumah-rumah kita,
di lingkungan kita, dan juga di negeri ini, berupa visi kepemimpinan,
mencetak keturunan yang kelak menjadi imam bagi orang-orang yang
bertakwa. Lihatlah generasi sahabat radiyallaahu ‘anhum. Rumah-rumah
mereka dijadikan pusat pengkaderan pemimpin. Banyak diantara sahabat
mulia yang anaknya pun tampil menjadi Sahabat Rasulullah, berjuang
bersamanya menegakkan risalah al-Islam sebagaimana ayah ibunya.
Umar bin Khothob mencetak anaknya menjadi sahabat Nabi yang utama,
yakni Abdullah bin ‘Umar, yang kelak kemudian lahir keturunannya,
seorang pemimpin besar, Umar bin Abdul Azis. Panglima besar ummat
Islam lainnya saat berusia belia 22 tahun, Usamah bin Zaid adalah anak
dari Zain bin Haritsah. Yasser bin Amr dan Sumayyah, yang melahirkan
anak Ammer bin Yasser. Sang Penakluk Konstantinopel, Muhammad alFatih, adalah anak dari Sultan Murad II.
Lalu, lihatlah kisah pemuda Najmuddin Ayyub. Lama ia mencari
pasangan hidup hingga tertunda nikahnya. Ketika ditanya, ia katakan
“Aku ingin mencari isteri sholihah, yang bisa melahirkan dan mendidik
anak, hingga jadi pemuda kesatria, yang mampu mengembalikan Baitul
Maqdis ke tangan kaum muslimin”. Ternyata calon isterinya pun
memiliki obsesi yang sama persis, mencari suami yang siap mengkader
anaknya menjadi kesatria pembebas Baitul Maqdis. Sekalipun coba
dijodohkan dengan anak-anak sultan kaya raya, mereka tolak. Akhirnya
mereka berjodoh, dan dari pasangan ini lahirlah sang pembebas Baitul
Maqdis, sang legendaris, Sholahuddin al-Ayyubi. Inilah makna doa yang
sering kita minta pada Allah,
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan
keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami imam
(pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqon: 74).
Tak ada yang salah jika orang tua memimpikan anaknya kuliah di
perguruan tinggi bergengsi, hingga menyiapkan dana besar untuk itu.
Lalu membayangkan kelak akan mudah mendapat pekerjaan di
perusahaan mapan, dengan gaji besar, membeli rumah dan mobil mewah.
Namun hal paling penting adalah agar anak-anak kita memiliki iman yang
kokoh.
Hadirin jama’ah rahimakumullah,
Marilah kita merenungi diri, mengevaluasi, sejauh mana tingkat
keimanan dan ketundukan, menerima syariat Allah. Mungkin selama ini
kita masih enggan berkorban dan berlelah dalam ibadah, beramal hanya
seadanya tanpa kesungguhan. Mungkin selama ini kita terlalu fokus
mencari kenikmatan dan perhiasan dunia semata, hingga melemahkan
ikatan, koneksi dan bekal kita untuk kehidupan kekal di akhirat kelak.
Sejauh mana kita bersyukur, padahal Allah tak henti mencurahkan
nikmatNya. Memberi kita tubuh yang lengkap dan sempurna, pasangan
hidup, keturunan, rezki, kesehatan, melindungi kita dari musibah.
Bagaimana pula dengan komitmen kita pada akhlaq islami, menjaga
lisan, pendengaran, dan penglihatan. Menjauhi hal-hal yang menyakiti
saudara kita, menjauhi ghibah, iri dengki yang bisa membakar habis
amalan kita.
Sejauh mana kepedulian, dukungan dan pembelaan kita kepada
perjuangan dan dakwah Islam, yang sering mengalami cobaan besar.
Orang-orang yang menjalankan syari’at Islam, sebagian penceramah dan
pendakwah dicurigai, diwaspadai, di cap radikalis, ekstrimis, bahkan
teroris. Tak jarang Rasulullah dan al-Qur’an dilecehkan dan dihina.
Propaganda yang terus disemburkan oleh musuh dan pihak-pihak yang
tak senang dengan Islam. Padahal dakwah Islam selama ini justru yang
banyak menyelamatkan akhlak generasi muda, di sekolah, di kampus, dan
di masjid-masjid. Sebab Islam mengajarkan kedamaian, melarang
berbuat kerusakan dan kekerasan. Dakwah yang mengajarkan cinta tanah
air dan mendorong ummatnya berkontribusi membangun negeri tercinta
ini. Termasuk kemerdekaan negeri kita tercinta, Indonesia, yang
diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh para ulama dulu, yang
kemudian didukung oleh ulama negeri-negeri Muslim lainnya,
diantaranya oleh Mesir dan Palestina.
Terhadap ayah dan ibu tercinta, sejauh mana kita telah berbakti,
menyayangi dan mendoakannya. Atau kita termasuk orang yang tidak
mampu bersabar menghadapi mereka, menyakiti dan menyinggung
perasaan mereka, ayah ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kita,
dengan cucuran keringat, airmata bahkan darah. Ibu yang dulu
mempertaruhkan nyawanya, menahan rasa sakit saat melahirkan kita dari
rahimnya. Ya Rabb, sayangi mereka. Ampuni segala dosa mereka.
Kumpulkan kami kelak bersama mereka di surga-Mu.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita akhiri khutbah idul adha hari ini dengan menghadapkan
hati kita kepada Allah, memohon ampun atas segala kesalahan, seraya
memanjatkan doa kepada-Nya.